
Brain Rot-Dampak Konsumsi Berlebihan Konten Instan Terhadap Kesehatan Mental Generasi Muda
oleh:Atsiarp Idle
Istilah “Brain Rot” kini makin populer di kalangan Gen Z, khususnya di media sosial. Fenomena ini menggambarkan kondisi ketika otak “mati rasa” atau kehilangan kemampuan untuk fokus akibat konsumsi berlebihan konten-konten pendek, cepat, dan adiktif seperti TikTok, Reels, dan YouTube Shorts.
Definisi dan Latar Belakang
Menurut Jones (2023), Brain Rot bukanlah istilah medis, tetapi representasi digital dari penurunan fungsi kognitif karena kebiasaan scrolling tanpa henti. Kebiasaan ini dikaitkan dengan dopamine overload, yaitu kondisi ketika otak terus-menerus menuntut rangsangan instan dan menolak aktivitas yang menantang seperti membaca panjang, belajar, atau bahkan berkomunikasi tatap muka.
Dampak Negatif terhadap Fungsi Otak
Riset dari Brown University menunjukkan bahwa konsumsi konten instan dalam waktu lama dapat menurunkan kapasitas memori jangka pendek dan fokus (Kumar & Lin, 2022). Selain itu, generasi muda mulai menunjukkan gejala mental fatigue, kecemasan sosial, dan bahkan depresi ringan akibat paparan konten yang berlebihan dan tak berkualitas (Smith, 2021).
Solusi dan Strategi Pencegahan
Pakar psikologi menyarankan detoks digital, penggunaan teknik Pomodoro saat belajar, serta mengganti waktu scrolling dengan membaca, journaling, atau aktivitas fisik. "Otak butuh tantangan, bukan hiburan instan terus-menerus," ujar Dr. Amira Khalid dari Universitas Indonesia (2023).
Perlu Digarisbawahi
Brain Rot bukan hanya tren istilah Gen Z, tetapi cerminan darurat digital yang perlu ditanggapi serius. Penting bagi generasi muda dan orang tua untuk memahami dampaknya dan membangun kebiasaan konsumsi konten yang lebih sehat.
Pelajaran Berharga dari Steve Jobs
Steve Jobs, pendiri Apple dan sosok di balik iPhone, ternyata tidak membiarkan anak-anaknya menggunakan iPhone atau iPad secara bebas, bahkan sampai usia remaja. Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times tahun 2010, jurnalis Nick Bilton bertanya pada Jobs, “Jadi anak-anak Anda pasti suka banget sama iPad, ya?” Jobs menjawab dengan tegas:
“Mereka belum pernah menggunakannya. Kami membatasi penggunaan teknologi di rumah.”
Alasannya? Jobs sangat sadar terhadap potensi kecanduan dan dampak negatif layar digital terhadap perkembangan anak-anak. Meskipun ia adalah inovator teknologi, ia tidak buta terhadap sisi gelap produknya sendiri. Dia tahu bahwa smartphone dan tablet bisa mengganggu fokus, kreativitas, dan hubungan emosional antar anggota keluarga.
Steve dan istrinya Laurene Powell Jobs memilih untuk membesarkan anak-anak mereka dengan banyak buku, percakapan tatap muka, dan waktu berkualitas di luar teknologi. Mereka bahkan menetapkan aturan makan malam bebas gadget—suatu hal yang saat ini sangat langka di rumah-rumah modern.
Apa yang dilakukan Jobs sejalan dengan kekhawatiran para psikolog saat ini: terlalu dini memberi anak akses tanpa batas ke smartphone bisa menyebabkan masalah konsentrasi, kecemasan, gangguan tidur, hingga berkurangnya empati sosial.
Ironis tapi nyata: orang yang menciptakan salah satu teknologi paling revolusioner justru sangat hati-hati saat memperkenalkannya kepada keluarganya sendiri.
Perlindungan Negara
Australia telah mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial, menjadikannya salah satu regulasi paling ketat di dunia dalam upaya melindungi kesehatan mental generasi muda.
📜 Ringkasan Undang-Undang
- Batas Usia: Anak-anak di bawah 16 tahun dilarang membuat akun atau menggunakan platform seperti TikTok, Instagram, Snapchat, X (sebelumnya Twitter), dan Facebook.
- Verifikasi Usia: Platform diwajibkan menerapkan sistem verifikasi usia yang ketat, seperti teknologi biometrik atau identifikasi pemerintah.
- Sanksi: Perusahaan yang gagal mematuhi aturan ini dapat dikenai denda hingga 49,5 juta dolar Australia (sekitar Rp500 miliar).
- Penerapan: Uji coba sistem verifikasi dimulai pada Januari 2025, dengan penerapan penuh dalam waktu satu tahun setelahnya.
🎯 Tujuan dan Dukungan
Perdana Menteri Anthony Albanese menyatakan bahwa undang-undang ini bertujuan melindungi anak-anak dari dampak negatif media sosial terhadap kesehatan mental mereka. Survei menunjukkan bahwa 77% masyarakat Australia mendukung langkah ini.
⚠️ Kritik dan Tantangan
Sejumlah pihak, termasuk Komisi Hak Asasi Manusia Australia dan perusahaan teknologi seperti Meta dan TikTok, mengkritik undang-undang ini. Mereka menyoroti potensi pelanggaran hak anak untuk berekspresi dan kekhawatiran bahwa larangan ini dapat mendorong remaja ke platform yang kurang aman.
🔍 Implementasi dan Pengawasan
Pemerintah Australia akan menguji metode verifikasi usia, termasuk teknologi biometrik dan identifikasi pemerintah, untuk memastikan kepatuhan platform. Namun, tantangan teknis dan kekhawatiran privasi masih menjadi perhatian utama dalam implementasi undang-undang ini.
Langkah Australia ini menjadi preseden global dalam regulasi penggunaan media sosial oleh anak-anak, memicu diskusi di berbagai negara tentang perlindungan generasi muda di era digital.
Kutipan Karya:
- Jones, Alan. Digital Dopamine and the Scrolling Brain. New York: TechMind Press, 2023.
- Kumar, R. & Lin, J. “Short-form Content Consumption and Cognitive Decline among Youth.” Journal of Media Psychology, vol. 18, no. 2, 2022, pp. 74–88.
- Smith, Laura. Social Media Fatigue and Gen Z. London: Digital Press, 2021.
- Khalid, Amira. Wawancara pribadi. Universitas Indonesia, 2023.